Petani Tewas Tersambar Petir – Langit mendung menggantung pekat di atas langit Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, pada Selasa sore yang mencekam itu. Aroma tanah basah dan desiran angin dingin mengiringi aktivitas para petani yang tak menghentikan langkah meski cuaca mulai tak bersahabat. Di antara mereka, seorang petani berusia 45 tahun bernama Zulkarnaen bonus new member masih setia mencangkul sawah, tak menyadari ajal tengah mengintainya dari balik awan gelap.
Tak ada peringatan yang cukup keras untuk menandai datangnya petir maut itu. Hanya sekejap kilatan cahaya putih menyambar dari langit, di iringi dentuman menggelegar. Zulkarnaen roboh seketika. Tubuhnya terbakar sebagian, bajunya robek akibat energi luar biasa dari sambaran petir itu. Rekan-rekan sesama petani yang berada tak jauh darinya segera berteriak, berlarian panik menuju tubuh yang terkapar tak bergerak.
Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di fjb-batam.com
Mereka mencoba memberikan pertolongan, namun sia-sia. Nafas Zulkarnaen telah terhenti. Matanya terbuka, menatap kosong ke langit yang masih menggila. Luka bakar menyebar di bagian dada dan bahu kirinya, ciri khas dari korban tersambar petir. Suasana yang semula hanya di penuhi suara hujan, kini berganti dengan isak tangis dan kepanikan.
Kronologi Awal Petani Tewas Tersambar Petir Di Kuansing
Tak butuh waktu lama, pihak kepolisian datang ke lokasi setelah menerima laporan dari warga. Jenazah Zulkarnaen kemudian di bawa ke rumah duka. Namun, saat petugas meminta izin untuk melakukan otopsi guna memastikan penyebab kematian, suasana berubah panas.
Keluarga Zulkarnaen, yang masih di liputi duka dan syok, menolak dengan tegas. Mereka meyakini Zulkarnaen tewas murni karena tersambar petir dan menilai otopsi adalah hal yang tidak perlu. “Kami tidak mau jenazahnya di utak-atik, cukup sudah dia mati dengan cara yang begitu tragis,” ucap seorang anggota keluarga dengan nada geram.
Penolakan itu memicu perdebatan singkat antara petugas dan pihak keluarga. Meski berniat untuk prosedur formal, aparat akhirnya mundur, menghormati keputusan keluarga. Jenazah pun langsung di makamkan malam itu juga, dalam suasana penuh isak dan emosi yang membuncah.
Alam Tak Lagi Bersahabat: Cuaca Ekstrem Jadi Ancaman Serius
Tragedi yang menimpa Zulkarnaen membuka mata banyak pihak akan bahaya nyata dari cuaca ekstrem yang semakin tak bisa di prediksi. Petani, yang menggantungkan hidupnya pada ladang dan sawah, kini menghadapi risiko yang lebih dari sekadar gagal panen: maut yang datang dari langit.
Wilayah Kuansing belakangan ini memang kerap di guyur hujan deras di sertai petir menyambar. Namun sayangnya, sistem peringatan dini dan perlindungan di lapangan sangat minim. Para petani bekerja tanpa perlindungan, tak punya tempat berteduh yang layak, dan cenderung mengabaikan tanda-tanda alam karena tuntutan ekonomi.
Kematian Zulkarnaen menjadi contoh paling nyata dan memilukan bahwa manusia kecil tak pernah benar-benar aman dari murka alam. Apa yang semula hanya di anggap hujan biasa, berubah menjadi malapetaka mematikan. Tubuhnya yang gosong adalah bukti bisu dari ketidaksiapan menghadapi fenomena alam yang kian menggila.
Tradisi, Keyakinan, dan Ketegangan dengan Hukum
Penolakan keluarga terhadap otopsi juga menguak di mensi sosial budaya yang lebih dalam. Di sebagian masyarakat Kuansing, ada keyakinan kuat bahwa tubuh jenazah harus segera di makamkan tanpa di bedah. Mereka percaya membedah jenazah hanya akan mengganggu ketenangannya di alam baka.
Namun hal ini berbenturan dengan prosedur hukum yang menuntut kepastian penyebab kematian, apalagi dalam kasus yang di anggap tidak biasa. Petugas medis dan aparat penegak hukum seringkali berada di posisi sulit antara menjalankan aturan atau menghormati budaya lokal.
Apa yang terjadi di rumah duka Zulkarnaen bukan sekadar drama duka, tapi juga panggung konflik kecil antara norma hukum dan nilai-nilai adat. Dan dalam tragedi ini, pihak keluarga memilih menutup rapat pintu untuk prosedur medis, dengan penuh amarah dan rasa kehilangan yang dalam.
Suara Warga: “Kami Takut, Tapi Harus Kerja”
Warga desa tempat Zulkarnaen tinggal kini hidup dalam ketakutan. Beberapa petani mengaku was-was saat hendak turun ke sawah. Namun mereka juga sadar, tak ada pilihan lain. Mereka harus tetap bekerja, karena perut tak bisa menunggu, dan tagihan tak pernah berhenti datang.
“Kalau takut hujan, takut petir, kapan bisa tanam? Nanti anak makan apa?” ujar salah seorang petani sambil menunjuk langit yang kembali menghitam. Kejadian ini, meski menyedihkan, belum tentu mengubah kebiasaan mereka. Keselamatan masih kalah penting di banding kebutuhan hidup.